BAB 1: Merantau Bermodal Niat dan Semangat
Saat pertama kali kaki ini menapak di Kota Surabaya, tidak ada ambisi besar yang menuntunku selain satu hal: bekerja. Kuliah hanyalah angan yang masih samar. Tujuan utamaku adalah bertahan hidup. Di antara riuhnya kota dan kerasnya persaingan, aku memulai dari titik nol, mengontrak sebuah lapak kecil di Pasar Sore Pandegiling. Sebuah gerobak rombong kujadikan warkop sederhana yang hanya beroperasi dari sore selepas Ashar hingga menjelang Subuh.
Bersama gerobak itu, setiap malam adalah medan tempur. Aku menjajakan kopi, teh, dan jajanan ringan untuk pengunjung pasar. Di siang hari, aku tidak tidur. Sebaliknya, aku gunakan waktu untuk berolahraga, berjoging demi menjaga kebugaran. Kemudian, pukul 06.30, aku berangkat kuliah ke IAIN Sunan Ampel Surabaya. Aku memilih Fakultas Dakwah jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, bukan karena itu cita-citaku, tapi karena aku merasa itu tempat yang paling mungkin kutembus.
Aku hidup dalam siklus kerja malam, kuliah pagi, dan tidur hanya dua jam sehari. Tapi aku bangga. Segala yang kupunya adalah hasil keringatku sendiri. Uang makan, biaya kuliah, bahkan sesekali aku bisa mengirimkan sedikit uang ke ibuku di kampung. Aku berdiri di kaki sendiri. Aku belajar bahwa penderitaan bukan sesuatu yang harus dihindari, melainkan dihadapi dan dijadikan guru.
BAB 2: Prinsip, Perasaan, dan Perjodohan dari Langit
Di awal kuliah, aku menulis satu prinsip besar di dinding kamar kosku: “No Girl Before Sukses”. Aku takut cinta akan melemahkanku. Setiap perempuan cantik kuhindari. Aku hanya berteman dengan yang kupikir tak akan membuatku jatuh hati. Namun, cinta tidak bisa selalu direncanakan. Ada satu teman sekelas yang membuat prinsip itu terguncang. Aku mencoba mendekatinya, tapi Tuhan masih menolongku: ia tidak tertarik padaku.
Kembali aku menegaskan tekad untuk sukses dulu. Namun Tuhan punya jalan lain. Seorang gadis—pelangganku di warkop—diam-diam memperhatikanku. Ia menyapa, mengajak bicara, dan perlahan menjadi bagian dari hidupku. Tanpa kusadari, aku pun jatuh cinta. Prinsip lama harus kukalahkan oleh keyakinan baru: “Berumah tangga bisa membuat hidup lebih terarah dan fokus.” Kami menikah, dan setahun kemudian, anak pertamaku lahir di RSI Surabaya. Aku usia 24 tahun.
Aku percaya, karier dan rumah tangga tidak perlu saling menunggu. Keduanya bisa tumbuh bersamaan. Tuhan tidak akan mengecewakan hamba yang tidak kenal putus asa.
BAB 3: Ujian Berat dan Titik Terendah Kehidupan
Saat anakku berusia lima bulan, musibah besar datang. Tubuhku membungkuk ekstrem, tak bisa duduk, tak bisa berbaring. Sakit itu berasal dari penyempitan di tulang tungging dekat tulang ekor. Rasa nyerinya luar biasa, pernah kurasakan mulai Maghrib hingga Subuh tanpa henti.
Berbagai pengobatan sudah kutempuh, medis maupun alternatif, tapi semua nihil. Aku nyaris menyerah. Kucoba menerima kondisi ini, aku pasrahkan pada Tuhan, bahkan sempat berucap, “Tuhan, ini semua dari-Mu, ikhlas kuterima, ampunilah aku.”
Namun kemudian, semangatku muncul kembali. Aku tak ingin kalah. Aku lawan semua rasa sakit itu dengan dzikir tanpa henti, siang dan malam, tanpa tidur selama tiga hari. Aku niatkan riyadhoh itu untuk mematahkan teror yang kuduga bukan hanya fisik. Di hari ketiga, aku bermimpi orang-orang aneh pergi dariku, dan saat bangun—ajaibnya—aku mulai bisa menggeliat.
Kucoba terapi gerakan salat, perlahan tubuhku pulih. Aku sembuh tanpa operasi, tanpa pengobatan lanjutan. Ini bukan keajaiban biasa. Ini karomah dari keikhlasan dan keimanan. Dari sinilah aku memulai hidupku yang kedua.
BAB 4: Hidupku yang Kedua dan Pengabdian di Tanah Kelahiran
Setelah sembuh, tekadku hanya satu: menjadi suami dan ayah yang bertanggung jawab. Dukungan seorang sahabat memberiku modal usaha. Aku buka kedai kopi di Terminal Benowo, lalu pindah ke Simo Katrungan Kidul dan bertahan lima tahun di sana.
Namun akhirnya, aku memutuskan kembali ke desa. Di tanah kelahiranku, aku merasa lebih damai. Aku diterima sebagai perangkat desa, bekerja di lingkungan yang menenangkan bersama orang-orang baik: sahabat lama, kerabat, dan tetangga.
Putraku kini sudah enam tahun. Karena aku bekerja di desa sendiri, aku bisa dekat dengannya. Aku bisa mendidiknya langsung, dengan kasih sayang dan perhatian yang utuh. Ekonomiku pelan-pelan membaik. Rumah kecilku akhirnya berdiri. Dulu aku dihina, bahkan oleh orang-orang terdekat. Kini, hinaan berubah menjadi sanjungan.
BAB 5: Doa, Kesabaran, dan Hadiah dari Langit
Dari semua perjalanan ini, satu hal yang tak pernah kulepaskan: doa. Setiap detik hidupku penuh doa. Dalam dzikir, dalam tangis, dalam sunyi, aku terus berseru kepada-Nya. Dan Tuhan, sebagaimana janji-Nya, tidak pernah ingkar. Ia mengubah segalanya. Ia angkat aku dari titik terdalam.
Kini aku tahu, hidup bukan soal menang atau kalah. Tapi soal seberapa lama kita mampu bertahan, seberapa tulus kita percaya, dan seberapa dalam kita menyandarkan segalanya pada-Nya.
Aku tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Tapi satu hal pasti: aku sudah pernah jatuh, dan bangkit kembali. Ini hidupku yang kedua. Dan aku akan menjalaninya dengan iman yang lebih kokoh, hati yang lebih lembut, dan tekad yang lebih tajam.
By: Andik Irawan